Wednesday 18 August 2010

Sejarah


Bismillah, Walhamdulillah Wassholatu Wassalamu
`Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah
amma ba’du…
Ketika gerakaan perempuan marak tahun 1990-an orang tidak pernah lagi menengok
bahkan melupakan bagaimana pergerakan wanita Indonesia, terutama di lingkungan
NU terbentuk. Seolah pergerakan wanita hanya sebagai bagian dari agenda
demokrasi yang digerakkan oleh negara-negara Barat.
Sementara sejarah pergerakan wanita NU memiliki akar kesejarahan panjang dengan
pergumulan yang amat sengit yang akhirnya memunculkan berbagai gerakan wanita
baik Muslimat, fatayat hingga Ikatan pelajar putri NU.
Sejarah mencatat bahwa kongres NU di Menes tahun 1938 itu merupakan forum yang
memiliki arti tersendiri bagi proses katalisis terbentuknya organisasi Muslimat
NU. Sejak kelahirannya di tahun 1926, NU adalah organisasi yang anggotanya
hanyalah kaum laki-laki belaka.
Para ulama  NU saat itu masih berpendapat bahwa wanita belum masanya aktif di
organisasi. Anggapan bahwa ruang gerak wanita cukuplah di rumah saja masih
kuat melekat pada umumnya warga NU saat itu. Hal itu terus berlangsung hingga
terjadi polarisasi pendapat yang cukup hangat tentang perlu tidaknya wanita
berkecimpung dalam organisasi.
Dalam kongres itu, untuk pertama kalinya tampil seorang muslimat NU di atas
podium, berbicara tentang perlunya wanita NU mendapatkan hak yang sama dengan
kaum lelaki dalam menerima didikan agama melalui organisasi NU. Verslag kongres
NU XIII mencatat : “Pada hari Rebo ddo : 15 Juni ’38 sekira poekoel 3 habis
dhohor telah dilangsoengkan openbare vergadering (dari kongres) bagi kaoem
iboe, .
Tentang tempat kaoem iboe dan kaoem bapak jang memegang pimpinan dan
wakil-wakil pemerintah adalah terpisah satoe dengan lainnja dengan batas kain
poetih.” Sejak kongres NU di Menes, wanita telah secara resmi diterima menjadi
anggota NU meskipun sifat keanggotannya hanya sebagai pendengar dan pengikut
saja, tanpa diperbolehkan menduduki kursi kepengurusan. Hal seperti itu terus
berlangsung hingga Kongres NU XV di Surabaya tahun 1940.
Dalam kongres tersebut terjadi pembahasan yang cukup sengit tentang usulan
Muslimat yang hendak menjadi bagian tersendiri, mempunyai kepengurusan
tersendiri dalam tubuh NU. Dahlan termasuk pihak-pihak yang secara gigih
memperjuangkan agar usulan tersebut bisa diterima peserta kongres. Begitu
tajamnya pro-kontra menyangkut penerimaan usulan tersebut, sehingga kongres
sepakat menyerahkan perkara itu kepada PB Syuriah untuk diputuskan.
Sehari sebelum kongres ditutup, kata sepakat menyangkut penerimaan Muslimat
belum lagi didapat. Dahlanlah yang berupaya keras membuat semacam pernyataan
penerimaan Muslimat untuk ditandatangani Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari
dan KH. A. Wahab Hasbullah. Dengan adanya secarik kertas sebagai tanda
persetujuan kedua tokoh besar NU itu, proses penerimaan dapat berjalan dengan
lancar.
Bersama A. Aziz Dijar, Dahlan pulalah yang terlibat secara penuh dalam
penyusunan peraturan khusus  yang menjadi cikal bakal Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga Muslimat NU di kemudian hari. Bersamaan dengan hari
penutupan kongres NU XVI, organisasi Muslimat NU secara resmi dibentuk,
tepatnya tanggla 29 Maret 1946 / 26 Rabiul Akhir 1365.
Sebagai ketuanya dipilih Chadidjah Dahlan asal Pasuruan, isteri Dahlan. Ia
merupakan salah seorang wanita di lingkungan NU itu selama dua tahun yakni
sampai  Oktober 1948. Sebuah rintisan yang sangat berharga dalam
memperjuangkan harkat dan martabat kaumnya di lingkungan NU, sehingga
keberadaannya diakui dunia internasional, terutama dalam kepeloporannya di
bidang gerakan wanita.  (BA-MDZ)


Keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana--setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya,  muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon Kebangkitan Nasional tersebut  dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bi'dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka KH. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
Readmore »